JADIKAN AKU JANDA [PART 7]
#Lidya
Tok tok tok..
"Iya sebentar.." ucapku lantang.
Sejak Rahmat berangkat kekantor aku memang sibuk bermain dengan Ziyad di kamarnya. Sampai tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah kami.
"Sebentar ya, Nak. Ada tamu."
Aku berjalan keluar kamar menuju pintu, penasaran juga siapa yang datang pagi-pagi begini.
Cklek...
"Fahri?" Sapa ku sedikit terkejut.
Dia adalah adik Iparku, atau adik kandung dari Rahmat. Awalnya aku kaget melihatnya berdiri disana, mereka berdua memang terlihat cukup mirip, hanya usianya saja yang seumuran denganku.
Terakhir kami bertemu mungkin setahun yang lalu ketika Ziyad lahir dan ia menjenguk kami. Walaupun Fahri mirip dengan kakaknya, namun sifat mereka berbeda drastis karena Fahri lebih sering terlihat ceria dan aktif. Tidak seperti kakaknya yang sok Cool.
Tapi, kali ini ada yang berbeda darinya. Hari ini Fahri datang dengan wajah cemas.
"Mbak? Maaf ganggu." Ucapnya.
"Kenapa? Tumben mampir?"
Pandangannya mengitari setiap penjuru rumah seolah mencari sesuatu.
"Mas kemana?"
"Ya kerja lah." Jawabku, ia mengangguk perlahan.
"Hey, ada apa sih? Aneh banget." Lanjutku yang masih terheran-heran melihat tingkahnya.
"Begini, mbak. Ibu masuk rumah sakit."
Deg!!
Jujur aku terkejut mendengarnya. Ia memang suka bercanda, tapi kali ini ia mengatakannya dengan serius.
"Hah? Kamu serius?" Tanyaku.
"Iya, makanya aku kesini. Dari tadi Mas Rahmat juga susah ditelpon."
Kami terdiam sebentar, lalu ia menghela nafasnya.
"Tau gini aku nggak kesini deh." Ujar Fahri sembari mengusap rambutnya. Aku tertawa renyah melihat tingkahnya.
"Kalo gitu aku pergi dulu ya, Mbak."
"Mau kemana sekarang?"
"Ya balik lagi ke Rumah Sakit. Ibu masih di UGD." Jawabnya.
Aku menahan lengannya hingga membuatnya kembali menoleh kearahku.
"Aku ikut boleh?" Pintaku.
Fahri terdiam sebentar, kemudian ia mengangguk setuju.
"Oke, aku tunggu di motor, Ya."
****
"Ibu?"
Kami dikejutkan oleh Rahmat yang tiba-tiba muncul dari balik tirai. Ia mulai merasa lega ketika melihat Ibu yang terlihat sehat sambil memangku Cucunya.
"Duh, Ibu ini bikin Rahmat khawatir aja." Lanjutnya sambil berjalan santai mendekati ranjang Ibu mertuaku.
"Ibu gapapa, kok, darah tinggi Ibu kambuh lagi, kebetulan Fahri lagi mampir kerumah." Balas Ibu mencoba menenangkan Rahmat.
"Kamu kok bisa disini?" Tanya Rahmat padaku.
"Tadi Fahri kerumah nyariin mas, mau bilang kalo Ibu masuk UGD tapi ponsel kamu nggak bisa dihubungi, ya terus aku ikut dia kesini."
"Terus Fahri mana?" Tanya ia lagi.
"Tadi Ibu minta cariin jajanan buat Ziyad, sebentar lagi juga dateng." Jawab Ibu.
Rahmat terdiam sejenak, ia seperti memikirkan sesuatu. Karena cemas, mungkin lebih baik kutanya saja.
"Kenapa, Mas?"
Ia menghela nafasnya.
"Dek, ada yang mau aku omongin sebentar." Katanya, aku mengangguk pelan.
Ia menoleh kearah Ibu dan mengelus tangannya perlahan.
"Aku keluar sebentar ya, Bu." Ucapnya, Ibu hanya mengiyakan dengan anggukan.
Rahmat berjalan keluar ruangan UGD, aku mengikutinya dari belakang. Ketika kami sudah diluar, wajahnya masih terlihat cemas.
"Mas?" Panggilku sambil menyentuh lengannya.
"Ada apa sih? Kok sampe keluar segala?" Lanjutku penasaran.
"Ada berita baik, juga berita buruk. Mau yang mana?" Tanya Rahmat balik, aku makin bingung dengan pertanyaan yang ia berikan.
"Apaan sih, mas?" Balasku gemas.
"Jawab dulu aja, kamu mau denger yang mana?"
Karena kesal, aku membuang nafas ke udara.
"Aku mau dua-duanya." Jawabku, ia malah tertawa renyah.
"Dasar rakus."
Aku mencubit perutnya untuk membalas ledekannya tadi.
"Aw aw.. maaf dek." Keluhnya.
"Makanya buruan, jangan bikin penasaran deh, kasian Ibu nungguin tuh."
Ia menyerah, lalu menghela nafasnya.
"Oke, jadi gini. Tadi Mas dapet tawaran dari atasan Mas untuk melakukan perjalanan bisnis keluar kota." Ungkapnya, aku sempat terdiam mendengar pernyataan tersebut.
Atasan yang ia maksud, apa mungkin Erik? Ya lagipula siapa lagi?
"Terus?"
"Berita baiknya, Mas mau ajak kamu selama kerja diluar kota, ya itung-itung liburan." Jawabnya.
"Tapi, kan Ibu lagi sakit?"
"Nah, itu dia berita buruknya."
Kami terdiam sebentar memikirkan hal tersebut. Sebenarnya sempat terpikirkan oleh ku untuk meminta Fahri menjaga Ibu.
Tapi kami tahu manusia semacam dia bukanlah orang yang tepat untuk menjaga orangtua yang sedang sakit.
"Kapan?" Tanyaku.
"Apanya?"
"Kapan mas harus pergi?"
Rahmat terdiam sebentar mencoba mengingat sesuatu.
"Mas Pikir harus secepatnya." Jawab Rahmat.
Aku tersenyum sambil memegang tangan kasarnya, lalu ia menoleh kearahku.
"Gapapa, Mas pergi aja. Lumayan kan bayarannya?"
"Iya sih, bisa buat tambahan tabungan atau bisa buat DP mobil baru." Jawabnya mantap.
"Tuh kan lumayan, sayang kalo nggak diambil tawarannya." Ujarku mencoba meyakinkannya.
Wajahnya kembali berubah murung.
"Tapi, Mas ninggalin kamu lama banget, lho."
"Yang penting nggak selamanya." Balasku, ia tertawa kecil mendengar jawabanku.
"Selama kamu pergi, aku bisa nemenin Ibu dirumah. Fahri juga bisa balik kerja lagi." Lanjutku.
Ia mengelus lembut rambutku, lalu dengan cepat menempelkan kepalaku ke dadanya. Aku hanyut dalam pelukannya yang mendadak itu.
"Kamu itu imut banget kalo lagi bijak." Bisiknya.
"Lepasin, Mas! Banyak orang tau."
"Ekhem!!" Seru Fahri yang ternyata sudah berdiri didekat kami.
"Kalo nggak salah ada peraturan dilarang mesra-mesraan di UGD." Lanjutnya mencoba meledek kami.
"Apasih? bilang aja kalo iri, dasar Jomblo!" Balas Rahmat sambil mengacak-acak rambut adiknya tersebut.
Melihat mereka bercanda seperti itu, jadi makin kelihatan kemiripan mereka berdua.
"Fahri?"
"Apa, mas ku?" Ujar Fahri yang masih sibuk merapikan rambutnya.
"Besok lusa Mas mau pergi, tolong jaga Ibu sama mbak mu ini ya."
"Kemana?" Tanya ia lagi.
"Mas ada tugas dari kantor untuk urus cabang perusahaan di Surabaya."
Fahri berjalan mendekatiku, lalu wajahnya mendekat dan berbisik dengan suara sedikit keras.
"Wah hati-hati, Mbak. Nanti mas Rahmat selingkuh disana."
"Kamu ini kalo ngomong yang bener dikit bisa nggak sih?" Karena kesal Rahmat kembali menjambak rambut adiknya.
****
Ini sudah hari ke5 semenjak Rahmat pergi melakukan tugasnya di luar kota. Sejujurnya aku tidak begitu merindukannya, hanya saja aku agak sulit menjalani hidupku sehari-hari tanpa Rahmat.
Selama Rahmat pergi, aku dan Ziyad tinggal di rumah Ibu mertuaku sambil menemaninya menghabiskan obatnya.
"Ibu, udah minum obat?" Tanyaku.
"Udah Alhamdulillah, masih banyak ya?"
Aku memeriksa beberapa obat di atas meja kecil samping ranjangnya.
"Kayanya tinggal beberapa lagi, Bu." Jawabku, kemudian aku duduk disamping tempat tidurnya.
"Gimana, Bu, masih kerasa pusingnya?" Tanyaku, ia menggeleng pelan.
"Udah nggak terlalu, biasanya cuma sebentar kok."
"Syukurlah, kalo gitu Ibu istirahat dulu ya, Lidya mau mandiin Ziyad dulu."
"Iya, Nak. Makasih ya." Jawabnya, aku pun bangkit dan beranjak keluar dari kamarnya.
Brumm...
Baru saja aku masuk ke kamar putraku, tiba-tiba ada suara motor yang berhenti dan masuk ke halaman rumah. Sepertinya Fahri datang lagi kesini.
"Assalamualaikum.."
Benar dugaanku, dia kembali lagi.
"Waalaikum salam." Jawabku.
Ia pun masuk dengan menenteng kantung plastik besar di tangannya. Aku penasaran dengan apa yang ia bawa.
"Kamu bawa apa, Ri?"
"Oh, ini? Buah melon, kemaren Ibu pesen kalo kerumah minta dibawain." Jawabnya seraya menaruh melon itu ke meja.
Fahri melepas sarung tangan dan jaket yang ia kenakan. Kulihat ia masih menggunakan baju serba putih yang kupikir itu adalah baju beladiri, mungkin.
"Belum ganti baju?" Tanyaku.
"Belom, abis ngajar langsung kesini." Jawabnya.
"Besok aku libur sampai Minggu. Jadi bisa santai." Lanjutnya kemudian ia melempar tubuhnya ke sofa.
"Ri, sebenernya kamu kerja apa sih?"
"Kepo banget sih, Mbak."
"Lagian kadang-kadang aku liat kamu pake kemeja rapih, sekarang malah pake baju.. baju apa itu?"
"Taekwondo." Jawabnya menyempurnakan ucapanku yang terhenti.
"Nah, apalah itu.. jadi kamu itu guru atau apa?"
Ia memandang pakaiannya sejenak, kemudian menoleh kearahku.
"Itu juga benar." Ujarnya.
"Benar gimana?"
"Ya aku ini guru biasa. Tapi kadang jadi guru beladiri juga. Hebat kan?" Jawabnya dengan penuh percaya diri. Karena kesal aku melempar wajahnya dengan bantal kecil.
"Dih.. biasa aja."
Aku pun beranjak pergi ke kamar Ziyad untuk memandikan anak itu.
Sebelum aku membawa Ziyad mandi, aku mengambil tas besar yang berisikan pakaian kami berdua. Dan aku sedikit terkejut setelah mengetahui baju Ziyad sudah hampir habis.
Aku pun bergegas menuju halaman rumah untuk memeriksa jemuran. Bodohnya aku yang malah tidak mencuci satupun pakaian putraku.
"Duh, besok gimana ya?" Gumamku.
Aku berjalan menuju ruang tamu untuk menemui Fahri. Kulihat ia masih bersantai disana.
"Ri?" Panggilku, dengan cepat ia menoleh.
"Kenapa, Mbak?"
"Kamu disini sampe kapan?" Tanyaku, ia terdiam sejenak.
"Masih lama kok, kenapa?"
"Kamu jaga Ibu sebentar, ya. Aku mau pulang ambil baju Ziyad sebentar, abis Maghrib aku udah disini lagi kok." Pintaku, ia mengangguk seolah paham.
"Oke, santai aja. Mau dianter nggak, Mbak?"
"Nggak usah, takutnya Ibu perlu sesuatu nanti." Jawabku.
Aku pun kembali kekamar Ziyad untuk mengambil tas dan membawa Ziyad bersamaku. Aku khawatir kalau meninggalkannya disini bersama Fahri.
****
Ziyad sudah mulai rewel, tapi belum juga ada taksi yang lewat. Aku masih menunggu di halte samping jalan, setidaknya kami masih terlindungi dari terik panas siang ini.
Tak lama kemudian, tiba-tiba ada mobil yang berjalan mendekati halte. Aku tak yakin, tapi sepertinya aku tahu siapa pemilik mobil ini. Tapi kenapa harus diwaktu seperti ini.
Mobil tersebut berhenti tepat dihadapanku, kemudian kacanya terbuka perlahan dan memunculkan pemiliknya.
Benar dugaanku, mobil ini milik Erik. Walaupun hanya sekali aku menaikinya, bentuknya masih menempel di kepalaku.
Sudah sangat lama kami tidak mengobrol lagi semenjak kedatangannya kerumah malam itu. Tapi kali ini kami bertemu kembali disini. Walaupun aku tak mengharapkan kehadirannya, tapi setidaknya aku bertemu orang yang kukenal.
"Hey, lagi ngapain? Kebetulan banget aku lewat sini." Katanya sambil sedikit mengeluarkan kepalanya.
"Aku lagi nunggu taksi, mau pulang."
Ia tersenyum sebentar.
"Butuh tumpangan nggak? Kasian anak kamu udah kepanasan kayanya." Ucapnya menawarkan tumpangan untuk kami. Mau tak mau aku harus menerima tawaran tersebut, semata-mata karena Ziyad memang sudah makin rewel.
"Makasih ya, Rik." Ungkapku.
"Iya gapapa, nggak usah canggung."
Selama diperjalanan kami tak banyak bicara, malah hampir tak berbicara sama sekali. Sebenarnya kalau aku masih mengharapkannya mungkin ini adalah waktu yang sangat tepat karena Rahmat sedang pergi.
Oh iya, Rahmat juga pergi karena perintahnya kan?
"Kamu tau kan soal suamiku?" Tanyaku.
"Ya pastinya lah, Lidya. Aku kan atasannya."
Benarkan, Erik yang memintanya untuk pergi ke luar kota. Sepertinya ia sudah cukup kenal dengan Rahmat, makanya Erik percayakan tugas tersebut padanya.
"Kamu abis dari mana?" Tanya Erik yang sepertinya mencoba untuk mencairkan suasana.
"Selama suamiku pergi, aku tinggal di rumah mertua untuk sementara." Jawabku.
"Ada yang ketinggalan dirumah, jadi aku harus pulang." Lanjutku, ia hanya mengangguk paham.
"Kita masih teman kan?" Erik menanyakan hal tersebut tiba-tiba.
"Kok tiba-tiba kamu nanya gitu?"
"Ya aku cuma mau memastikan aja, soalnya kita udah lama nggak chatingan lagi."
"Tapi, Rik, kan aku udah bilang kalo..."
"Iya aku paham, Lidya." Potongnya.
"Aku cuma mau mastiin aja kalo kamu nggak marah atau benci sama aku, aku paham sekarang kita di posisi yang berbeda." Lanjutnya mencoba menjelaskannya padaku. Sepertinya ia masih terus memikirkan perubahan sikapku yang terlalu cepat.
"Kalo gitu aku minta maaf, mungkin emang aku yang berubah terlalu cepat." Ungkapku.
Erik malah tertawa setelah mendengar permintaan maafku.
"Santai aja kali, aku paham kok." Balasnya, aku sedikit merasa lega.
Beberapa menit kemudian kami sampai di rumah. Lalu ia memarkirkan mobilnya didepan gerbang rumahku.
"Makasih ya, Rik." Ungkapku, ia menjawab dengan anggukan pelan.
"Nanti kamu mau balik lagi?"
"Iya, aku cuma mau beres-beres rumah sekalian ambil pakaian Ziyad." Jawabku.
"Mau aku antar lagi ke tempat tadi?"
"Gausah lah, Rik. Aku jadi ngerepotin kamu."
"Eh gapapa, lho. Mumpung aku lagi senggang." Jawabnya sambil terus menawarkan tumpangannya lagi.
Aku terdiam sejenak memikirkan jawabannya. Sejujurnya aku merasa tidak enak kalau ia terus memberikan perhatiannya, aku takut rasa yang hilang ini kembali muncul lagi.
"Aku lama, lho."
"Gapapa, aku bisa nunggu di mobil." Jawabnya.
Aku menghela nafas sebentar, menyerah karena ia sampai mau menunggu disini.
"Yaudah deh, tapi kamu jangan nunggu disini juga, Rik. Kamu boleh nunggu di ruang tamu." Kataku.
"Oke, aku nunggu disana."
Kami pun turun dan berjalan masuk kedalam. Ia turun dari mobil sambil membawa kantong plastik.
"Apa itu?" Tanyaku sambil menunjuk plastik yang ia bawa.
"Ini cemilan dari kawan tadi, biar nggak bosen." Jawabnya sambil memperlihatkan padaku isinya. Ada jus kemasan dan beberapa makanan ringan.
"Kamu boleh ambil satu." Katanya.
"Bener nih?"
"Iya ambil aja, yang jus juga enak tuh, aku udah cobain."
Aku memang sedikit penasaran dengan jus nya, karena biasanya aku minun jus dari buahnya langsung.
"Oke deh, aku ambil yang ini." Ujarku sambil meraih botol berisi jus dari dalam plastik tersebut.
"Kamu tunggu sebentar disini ya, aku mau beres-beres dulu." Pintaku pada Erik dan ia pun menunggu di ruang tamu sembari aku mengambil pakaian Ziyad.
Padahal baru 5 hari aku meninggalkan rumah ini, tapi rasanya aku rindu sekali. Rumah Ibu mertuaku memang tidak lebih besar dari ini, tapi aku juga nyaman disana.
Sambil menyapu lantai, aku pun meminum jus yang diberikan Erik. Dari warnanya yang bagus sepertinya ini enak. Kalau aku suka mungkin aku bisa memesannya lagi padanya.
Glekk...
Rasanya agak aneh, mungkin karena baru pertama kali aku meminum ini. Walau begitu rasanya tetap lumayan.
Belum selesai aku menyapu lantai, aku mendengar Ziyad memanggilku. Duh, kenapa ia harus rewel disaat seperti ini. Kalau begini terus Erik bisa lama menungguku sampai selesai.
"Iya, nak... Sebentar." Balasku lantang sambil berjalan kekamarnya.
Bruk!!
Tiba-tiba tubuhku lemas dan seketika terjerembap ke lantai. Padahal sebelumnya aku tak selemas ini. Pandanganku mulai kabur, pendengaran ku mulai samar, yang masih bisa ku dengar adalah tangisan Ziyad. Ada apa sebenarnya dengan tubuhku? Apa aku sakit?
"Erik.. tolong.." ucapku lemah, aku yakin ia pun tak bisa mendengarku.
Disaat-saat aku hampir kehabisan kesadaran, kulihat samar-samar ada yang datang mendekatiku.
"Erik?" Tanyaku menebak-nebak.
"Erik.. tolong.." lanjutku.
Ia membungkukkan tubuhnya dan makin jelas kulihat kalau itu adalah Erik.
"Yaya, aku udah lama menunggu untuk ini." Ujarnya sambil tersenyum, aku mulai ketakutan.
"Apa maksudmu?"
"Kamu tidur aja, aku akan membuatmu bersenang-senang denganku." Bisik Erik sambil mengusap lembut pipiku.
Ingin rasanya aku berteriak, tapi percuma karena kesadaranku mulai berkurang.
"Selamat mimpi indah, Yaya sayang."
Itulah hal terakhir yang kudengar darinya, kemudian semuanya gelap.
Bersambung...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 $type={blogger}:
Post a Comment
Berikan komentar anda dengan bijak tanpa mengandung unsur SARA