JADIKAN AKU JANDA [PART 6]
#Lidya
Terdengar suara tangisan Ziyad dari kamarnya disaat aku sedang menemani Rahmat mengobrol dengan Erik di ruang tamu. Aku segera bangun dari sofa dan berniat bergegas ke kamar Anak kami.
"Dek?" Panggil Rahmat, aku menoleh sebentar.
"Gapapa, biar Mas aja yang gendong Ziyad kesini." Lanjutnya sambil berdiri dan berlari kecil menuju kamar Ziyad.
Ketika Suamiku pergi meninggalkan kami berdua diruang tamu, suasananya malah terasa canggung, padahal Erik bukanlah sosok asing bagiku. Tapi memang akhir-akhir ini aku sangat menjaga jarak dengannya agar rasa cintaku pada Rahmat tak lagi redup.
"Emm... Yaya?" Aku kaget ia memanggilku dengan sebutan itu disini.
"Jangan panggil aku begitu disini, ada Mas Rahmat juga kan." Potongku memperingati Erik yang sepertinya tak sengaja memakai panggilan tersebut.
"Ma..Maaf. keceplosan." Ungkapnya.
"Aku beneran kaget, ternyata salah satu anak buahku adalah suami kamu. Kenapa kamu nggak bilang waktu itu." Lanjut Erik seolah mengajakku berbicara dan mencairkan suasana.
"Aku juga nggak tau kalo suamiku kerja di tempatmu waktu itu." Balasku.
"Akhir-akhir ini kamu jarang bales setiap aku kirim pesan, emangnya lagi sibuk apa sekarang?" Tanya Erik lagi, mungkin ia penasaran dengan sikapku yang berubah padanya semenjak pertemuan terakhir kami.
"Gimana ya ngejelasinnya, semenjak kita mulai chatingan lagi, aku jadi lupa sama kewajibanku sebagai seorang Istri." Balasku.
"Maksudnya?"
"Ya kamu selalu ajak aku chattingan, Rik, aku sampai hampir lupa urus anakku. Toh emangnya kenapa kalo tiba-tiba aku nggak balas chat kamu, kita juga udah nggak ada hubungan apa-apa, kan?"
"Oh.. kalo begitu aku yang minta maaf, aku nggak tau, Lidya. Kukira kamu nyaman sama semua itu, makanya aku terus ajak kamu ngobrol di WhatsApp." Ungkapnya, lalu ia bangkit dari sofa.
"Terus terang aja, pas aku tau ternyata Rahmat itu suami kamu, aku agak tenang, karena aku cukup tau dia itu orang seperti apa."
"Tapi aku juga sedikit khawatir sama hubungan kalian kedepannya, Lidya." Lanjut Erik dengan nada berbisik dan itu membuatku penasaran dengan perkataannya barusan.
"Maksud kamu?"
"Tapi inget ya, jangan bilang sama Rahmat kalo aku yang kasih tau. Sebenarnya, ada beberapa karyawan perempuan yang deketin suamimu terus kalo di kantor." Bisiknya lagi.
Awalnya aku terkejut, tapi setelah kupikir matang-matang itu memang hal yang wajar. Sebagai seorang istri dari suami yang berparas rupawan seperti Rahmat pasti lah memiliki banyak resiko.
Selama Rahmat tak menggubris gangguan dari para karyawan genit itu, kupikir itu akan baik-baik saja.
"Hmm... Begitu ya." Balasku singkat.
"Selama aku percaya sama dia, aku yakin semua pasti baik-baik aja, Rik." Lanjutku mencoba meyakinkan diri.
"Kamu bener-bener nggak berubah ya, tetep konsisten sama pendirianmu seperti biasa." Pungkasnya, lalu ia mengambil Jas nya yang tergeletak di atas meja.
"Aku pamit dulu, ya. Makasih kopi nya." Ujar Erik.
Baru saja ia melangkah keluar, Rahmat datang bersama Ziyad yang sudah terbangun diperlukannya.
"Lho, Pak, udah mau pulang lagi? Kopi nya kan belum habis." Ujar Rahmat.
"Wah, ganteng banget anak ini." Erik melangkah mendekati Rahmat dan mencoba bercanda dengan Ziyad.
"Ini udah malam, saya harus cepat pulang. Ngomong-ngomong, terimakasih udah menjamu saya ya, Rahmat." Jawab Erik.
"Wah, seharusnya saya yang berterimakasih sama anda karna udah kasih tumpangan tadi." Balas Rahmat sedikit menepuk pundak bos muda nya itu.
"Kamu beruntung, Rahmat, bisa di dapet Istri yang pintar dan anak yang tampan."
"Iya, anda benar. Saya senang bisa punya keluarga kecil seperti ini." Balas Rahmat.
"Semoga Pak Erik cepet nyusul juga ya." Lanjutnya, kemudian Erik mengamini doa tersebut sambil disambut tawa mereka berdua.
"Yah, semoga aku bisa dapat wanita yang baik, setidaknya yang mirip dengan Istrimu." Ungkapnya sambil menoleh kearahku.
Mendengar Erik mengatakan hal tersebut malah membuatku tak nyaman. Nada bicaranya seolah menerkam jiwaku bulat-bulat.
Tak lama setelah itu, ia pergi membawa mobilnya. Lalu aku berlari kearah Rahmat dan langsung memeluknya dari belakang.
"Aduh, hati-hati dong sayang.. nanti Ziyad jatuh gimana?" Ujar Rahmat yang terkejut karena mendapat serangan mendadak dariku.
Aku hanya terdiam dan terus memeluknya. Sambil terus berharap agar perasaan ini tak mudah berubah lagi, apalagi dengan gosip miring yang dikatakan Erik barusan.
****
Kepalaku masih menempel di atas dadanya yang bidang, bulu-bulu dadanya terkadang menggelitik pipiku. Sambil memeluknya, aku bisa mendengar detak jantungnya melantun indah ditelingaku.
Tubuh kami masih terbungkus selimut karena dinginnya malam ini, aku sampai tak bisa melepaskan tubuhku dari pelukannya. Mungkin juga karena pakaian kami yang masih tergeletak di lantai, dan kami malas untuk mengambilnya kembali. Tapi biarlah, malam ini saja aku mau bermanja ria bersama Rahmat.
"Pas aku denger perkataannya pak Erik tadi, Mas jadi sadar." Ucapnya tiba-tiba sambil mengelus punggung telanjangku dibalik selimut.
"Sadar?"
"Iya, baru sadar kalo ternyata mas beruntung bisa dapetin kamu, dek." Katanya, karena gemas aku langsung menampar pipinya pelan. Lalu ia tertawa.
"Gombal."
"Ih, mas serius. Kalo mas nggak sayang sama kamu, mungkin mas udah kegoda sama temen-temen perempuan di kantor."
Mendengar pernyataan Rahmat, aku jadi teringat apa yang Erik bicarakan tadi. Tapi Rahmat cukup berani bercerita hal tersebut padaku.
"Emangnya temen-temen kantor kamu genit-genit ya?" Tanyaku mencoba memancing pembahasan tersebut. Aku ingin tahu sejauh apa ia akan jujur padaku.
"Iya, kebanyakan dari mereka perempuan bersuami dan juga cantik-cantik." Jawabnya.
Aku melepas pelukannya dan memutar tubuhku memunggungi nya karena kesal mendengar ceritanya tadi. Kemudian aku dikejutkan oleh Rahmat yang memeluk tubuh kecilku bulat-bulat dari belakang.
"Tapi, Mas nggak tergoda sama sekali, soalnya aku tau, yang dirumah lagi mempercantik diri sambil nungguin suaminya pulang." Lanjutnya kemudian mengecup pipiku lembut.
Aku yakin kini wajahku merah merona karena tersipu malu dibuatnya.
Ku putar lagi tubuhku kearahnya hingga kami saling menatap satu sama lain. Dari jarak sedekat ini, ia makin mempesona dimata ku.
"Aku.."
"Apa?"
"Aku juga perempuan paling beruntung didunia, karna bisa dinikahi Pria paling tampan dikampungnya." Ucapku meledeknya, ia langsung menggigit hidungku.
"Aw.. apaan sih?"
"Biar mancung." Jawab Rahmat seadanya.
Kemudian ia menyerangku lagi dengan bibirnya, aku kembali tak bisa melakukan apapun jika ia selalu melakukan hal tersebut.
Malam ini aku hampir sanggup melupakan Erik, Pria itu hanya masa lalu walaupun kini kami bertemu kembali. Tapi sekarang ada Rahmat dihidupku, dan dia tak mungkin lagi bisa masuk dalam kehidupanku yang tanpa kusadari ternyata seindah ini.
"I Love u, Mas." Bisikku
**********
#Rahmat
Aku berjalan cepat menuju ruangan Erik untuk mengantarkan dokumen laporan hasil pengiriman produk di sebulan terakhir ini.
"Aku yakin dia pasti senang dengan hasilnya." Gumamku bersemangat.
Tok tok tok
Cklek..
"Permisi?"
Ketika aku membuka pintunya, kulihat Erik tengah berdiri kearah jendela besar didepannya. Saat menyadari kehadiranku, ia langsung memutar dan menoleh kearahku.
"Eh, Rahmat? Tepat sekali." Pungkasnya.
"Ayo silahkan masuk." Ajaknya, aku pun berjalan masuk dan meletakkan dokumen yang kubawa keatas mejanya.
"Apa itu?"
"Ini laporan hasil..."
"Ah, itu nggak penting." Potongnya, aku makin penasaran sebenarnya apa yang mau ia sampaikan.
"Ada sesuatu yang mau saya sampaikan sama kamu." Lanjutnya, lalu ia mengeluarkan sebuah dokumen dari laci mejanya dan menyodorkannya kearahku.
"Coba lihat ini." Titahnya, aku pun meraih selembaran tersebut dan melihat isinya.
Setelah ku telaah baik-baik, ternyata ini adalah dokumen laporan hasil penjualan di perusahaan yang berbeda. Aku masih bingung dengan semua hal ini.
"Ini apa ya, Pak?" Tanyaku.
"Jadi ini adalah perusahaan yang dibeli Ayahku beberapa tahun lalu. Perusahaan ini bergerak dibidang Furniture dan properti, sama seperti kita. Tapi ada beberapa masalah di sana, terutama di bagian produksi." Jawabnya, aku mengangguk seolah paham.
"Lalu, kenapa bapak memperlihatkan laporan ini ke saya? Apa yang bisa saya lakukan?"
"Pertanyaan yang bagus, Rahmat. Makanya aku suka model karyawan seperti kamu." Ungkapnya seraya menepuk pundakku beberapa kali.
"Jadi, akhir-akhir ini perusahaan kita mulai kembali membaik, kan? Terutama di sektor produksi yang kamu pimpin. Nah, maka dari itu saya mempercayakan masalah ini padamu." Jelasnya.
"Maksud, Bapak?"
"Saya mau kamu datang ke perusahaan itu dan pelajari semua permasalahan yang ada disana. Bagaimana?"
"Wah? Beneran, Pak? Tempatnya jauh dari sini?"
"Ya lumayan, lokasinya kalau nggak salah ada di Surabaya, saya lupa, nanti saya kasih alamatnya lebih lengkap lagi." Jawabnya.
Benar dugaanku, Erik mencoba memintaku untuk melakukan perjalanan bisnis keluar kota, tepatnya ke perusahaan milik keluarganya ini.
Siapa yang tidak senang dengan berita baik ini? Otomatis aku akan mendapatkan bayaran yang lumayan, bisa ku pakai untuk membeli mobil yang lebih sehat.
Tapi, selama aku hidup dengan Lidya, mungkin ini pertama kalinya kami akan berpisah cukup jauh dalam waktu yang lama. Apa mungkin ia akan baik-baik saja? Sedangkan Lidya adalah tipikal orang yang benci kesepian.
"Rahmat, gimana?" Ujar Erik seketika memecah lamunanku.
"Emm.. maaf, Pak, saya belum bisa jawab sekarang. Saya minta waktu beberapa hari untuk membicarakan ini sama Istri saya." Jawabku, ia hanya mengangguk perlahan.
"Oke, saya kasih waktu sepekan untuk kamu pikir-pikir lagi. Jangan lewatkan kesempatan ini, Rahmat. Kalau operasi ini berhasil mungkin kamu bisa di promosikan untuk naik jabatan. Ingat itu.."
"Baik, Pak. Saya nggak akan buat bapak kecewa." Jawabku dengan mantap.
Bersambung... Part 7
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 $type={blogger}:
Post a Comment
Berikan komentar anda dengan bijak tanpa mengandung unsur SARA