#Lidya
Sejak Maghrib, Ibu mertuaku belum keluar dari dapur dan itu membuatku sedikit tak nyaman. Karena penasaran dan merasa tak enak, aku pun menyimpan ponselku di meja dan berjalan kearah dapur.
Setelah kulihat sepertinya Ibu masih sibuk dengan semua sayuran yang ada disana. Aku pun mendekatinya perlahan karena penasaran.
"Bu?" Panggilku, ia menoleh kearahku sambil tersenyum.
"Eh, nak Lidya. Gimana? Ziyad udah selesai mimi nya?"
"Udah kok, tadi dia udah tidur lagi didepan ruang TV." Jawabku, Ibu kembali sibuk dengan bahan-bahan masakan yang ada didepannya.
Aku sempat terkejut ketika menyadari kalau ia sepertinya hendak memasak sayur, dan yang pasti makanan ini untuk putra tercintanya, Rahmat. Tapi, yang kutahu Pria tersebut kurang suka dengan masakan sejenis sayuran. Aku biasa melihatnya makan daging atau semacamnya.
"Mau aku bantuin?" Kataku menawarkan bantuan. Ia hanya tersenyum sambil menggeleng perlahan.
"Gausah, sebentar lagi selesai." Lanjutnya.
"Kamu pasti heran ya?" Ujar Ibu seolah mudah menebak isi kepalaku.
"Hehe, Ibu tau aja."
"Tapi bukannya mas Rahmat nggak suka sayuran ya?" Lanjutku, ia terkekeh sebentar.
"Kata siapa?" Tanya Ibu balik.
"Suamimu itu suka banget sama sayur-sayuran."
Hah? Tapi..
"Ada hal yang nggak kamu tau dari anak itu." Ujar Ibu.
"Maksudnya, Bu?"
Ibu memasukkan semua bahan tersebut kedalam panci, lalu berjalan ke kursi yang ada di dekatnya.
"Ahh.." keluhnya seraya terduduk di kursi tersebut.
"Coba Ibu tebak, pasti Rahmat masih sering beliin kamu makanan semacam Ayam bakar, ayam goreng, pas pulang kerja, benar kan?" Tebaknya yang lagi-lagi tak meleset.
"Iya bener, Ibu tau aja." Ungkapku. Kemudian ia menoleh ke langit-langit rumah sembari mengingat-ingat sesuatu.
"Di hari pertama kalian saling kenal, dia tahu kamu suka Ayam bakar. Disaat itu juga, ia belajar menyukai makanan itu diam-diam. Alasannya unik, abis kalian nikah nanti, dia mau makan dengan makanan yang kamu suka juga."
ternyata seunik itu.
"Setiap hari menjelang pernikahan, dia selalu merasa cemas. Ia khawatir nggak bisa bikin kamu bahagia nanti. Setiap malam dia selalu menemui Ibu sambil bertanya apa ada yang kurang darinya untuk kamu? Setiap pulang kerja juga dia selalu menemui ibu sambil nanya apa dia pulang terlalu lama? Dia terus begitu sampai malam sebelum pernikahan kalian." Lanjutnya, aku agak terkesima mendengarnya, karena hal tersebut adalah sesuatu yang tidak diketahui dari Rahmat.
"Kamu nggak usah khawatir, dari semua yang ibu ceritain tadi nggak ada yang dibuat-buat, udah jelas dia benar-benar sayang sama kamu, nak. Dia mau melakukan yang terbaik untuk kalian." Lanjutnya lagi, sepertinya kini ia juga bisa menebak perasaanku sebenarnya kepada Rahmat, Putranya.
Sudah hampir 3 tahun aku dan Rahmat hidup bersama, tapi sampai sejauh ini aku tidak tahu ternyata sebesar itu perasaan sayang Rahmat kepadaku. Kukira ia cuma Pria biasa yang melamarku karena sebatas hasrat saja.
Tapi ternyata perjuangannya begitu besar, hanya untuk membuatku bahagia.
Brumm...
Terdengar suara mobil Rahmat yang berhenti depan rumah. Kulihat Ibu bangkit dari kursi dan berjalan menuju kompornya untuk menyelesaikan masakannya.
"Lidya, tolong bukain pintu buat suami kamu, biar Ibu lanjutin masaknya." Suruh Ibu, aku pun segera bergegas ke ruang tamu.
"Assalamualaikum..."
Ceklek..
"Waalaikum salam." Jawabku sambil membukakan pintu untuknya.
Mata kami bertemu, setelah melepas sepatunya ia berjalan perlahan kearahku. Perasaan ini sama seperti siang tadi ketika kami hampir bertemu di acara tersebut.
Seketika nafasku kembali sesak dipenuhi rasa penyesalan karena pergi bersama Erik pagi tadi.
"Dek?" Panggil Rahmat agak berbisik, lalu ia memegang pundakku lembut dan langsung memelukku bulat-bulat.
Tangisku hampir meledak di dalam pelukannya, tapi aku harus menahannya agar ia tak curiga. Aku hanya bisa membalas pelukan hangat tersebut.
"Mas minta maaf ya." Ungkapnya masih memelukku.
"Minta maaf lagi? Untuk apa?"
Lalu perlahan ia melepas pelukannya. Kulihat matanya memerah seolah menahan tangis.
"Karena.. karena mas pulang terlambat. Maaf ya." Lanjutnya, lalu ia tersenyum.
"Dasar payah, saharusnya aku yang minta maaf padamu." Gumamku sambil menahan tangis.
**********
Sudah hampir sebulan setelah kejadian itu, sejak saat itu pula hubunganku dengan Erik mulai meregang. Aku jarang membalas pesannya lagi karena aku juga harus belajar melepasnya.
Sebaliknya, perasaanku pada Rahmat berangsur membaik. Lambat laun ada rasa cinta yang tumbuh diantara kami. Aku sangat berterimakasih pada Ibu mertuaku, andai dia tidak menjelaskan betapa cintanya Rahmat padaku, mungkin semua ini tak akan terjadi.
Hari ini, aku sengaja membelanjakan beberapa jenis sayuran dipasar. Setelah kupikir matang-matang, aku mau mencoba memasak sayuran untuk makan malam hari ini.
Karena aku belum mahir mengolah sayuran, aku pun menghubungi Ibu mertuaku dan menanyakan resepnya. Syukurlah semua berjalan dengan lancar.
Semuanya sudah rapih diatas meja makan, dan pekerjaan rumah pun juga sudah selesai ku kerjakan.
Tinggal menunggu Rahmat yang belum juga pulang dari kantor.
"Kemana dia? Nggak biasanya jam segini belum sampe." Gumamku setelah menyadari waktu Maghrib hampir tiba.
Triingg...
Baru saja aku membicarakannya, tiba-tiba Rahmat menghubungiku.
Klik..
[Me : Hallo, mas?]
[Rahmat : dek, maaf mas pulang agak telat, mobilku tiba-tiba mogok. Mas masih di kantor.]
Aku terdiam sebentar, seharusnya aku tak perlu kecewa karena dia punya alasan kuat untuk pulang terlambat hari ini. Tapi tetap saja rasanya menyesakkan.
[Rahmat : Lidya? Hallo?]
[Me : oh, i..iya mas gapapa. Aku bisa nungguin kok. Jangan beli makan ya, aku udah masak buat makan malam.]
[Rahmat : iya, tenang aja. Mas bakalan abis masakan kamu sampe piring-piringnya.] Jawabnya yang masih sempat-sempatnya bercanda.
[Me : hihi.. apa sih? Gak lucu tau. Yaudah, cepet pulang ya.]
[Rahmat : oke, bye..]
Klik.
Setelah selesai menelpon dan mengetahui Rahmat pulang telat hari ini, aku pun menutup makanan di atas meja dengan tudung saji. Kemudian aku berjalan ke kamar Ziyad untuk melepas rasa bosan.
Tringg...
Baru saja aku ingin bermain dengan putraku, tiba-tiba ada pesan masuk ke ponsel.
Pesan tersebut dari Erik, sudah kuduga.
[Erik : selamat malam, Yaya. Hari ini kamu masih sibuk?] Tulisnya.
Entahlah, aku sedang tak punya selera untuk membalasnya. Lalu ku simpan ponselku dan kembali ke kamar sikecil.
****
Tak terasa dua jam pun berlalu. Setelah lelah bermain, Ziyad tidur dalam pangkuanku. Anak ini mirip sekali dengan Ayahnya, tampan dan polos.
"Papahmu mana, nak? Kok belum pulang ya?" Ujarku seolah bertanya pada Ziyad.
Tin.. tin..
Tak lama setelah itu terdengar suara klakson dari luar. Aku segera memindahkan Ziyad keatas kasurnya dan bergegas melihat siapa yang datang. Mungkinkah Rahmat sudah selesai dengan mobilnya?
Setelah membuka pintu, terlihat samar-samar lampu mobil dari luar pagar rumahku. Tak biasanya ia memarkirkan mobilnya di luar pagar. Atau mungkin itu bukan dia, mungkin saja hanya tetangga yang berhenti sebentar didepan rumah.
Aku pun berbalik dan kembali berjalan masuk kedalam rumah.
"Dek!?"
"Suara itu? Kok kaya mas Rahmat?" Gumamku setelah mendengar panggilan tersebut.
Aku kembali keluar dan berjalan ke pagar. Karena sudah gelap, aku tak bisa melihat dengan jelas mobil yang dipakai Rahmat. Yang jelas ia baru saja keluar dari mobil tersebut.
"Mas? Alhamdulillah.." kataku sedikit lega setelah tahu ia sudah pulang.
"Maaf ya, tapi mobil mas belum selesai. Jadi masih di kantor."
"Lah? Terus mas pulang sama siapa? Taksi online?" Tanyaku.
"Nggak kok." Jawabnya.
Lalu muncul seorang Pria dari mobil tersebut dan berjalan kearah kami. Ia pun berdiri disamping Rahmat dan mata kami saling pandang cukup lama.
Dadaku berdegup kencang, tanganku mengepal. Ada rasa takut yang amat besar dalam dada.
Pria yang mengantar Rahmat pulang itu...
"Kenalin, ini Bos mas yang baru. Namanya Pak Erik. Kebetulan tadi dia pulang telat dari kantor, terus dia nawarin tumpangan." Ujar Rahmat mencoba memperkenalkan seorang pria yang seharusnya tidak datang kesini.
Bersambung... Part 6
Link part 4
Link part 3
Link part 2
Link part 1
JADIKAN AKU JANDA [PART 5]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 $type={blogger}:
Post a Comment
Berikan komentar anda dengan bijak tanpa mengandung unsur SARA