JADIKAN AKU JANDA [PART 4]


#Rahmat

Aku harap ini semua hanya salah paham, atau aku yang salah lihat. Di acara peresmian atasan baru di kantor, aku melihat seorang perempuan yang sangat mirip dengan Istriku, dan tengah berdiri bersama Erik, Pria muda yang membeli tempat ini dari Romi.

Aku masih berharap hanya salah lihat. Walaupun ia terlihat begitu mirip dengan Lidya yang aku yakin sekarang ia masih berada di rumah Ibu.

****

Beberapa waktu sebelumnya...

#Lidya

Malam ini kami baru saja selesai bercinta. Mumpung Rahmat baru saja kekamar mandi lebih awal, aku bergegas meraih ponsel dan memeriksa pesan dari Erik yang belum kubaca dalam keadaan tubuhku yang masih terlilit selimut.

[Erik : Yaya, kamu belum tidur?] Tanya Erik setelah menyadari kontakku yang masih berstatus Online.

[Me : Belum, nggak bisa tidur.]

[Erik : Jangan mikirin aku terus makanya.]

[Me : dih, siapa juga yang mikirin kamu? 😜] Balasku sambil menambahkan emoticon ledekan.

[Erik : Gimana? Besok kamu bisa datang?]

Sial, aku malah lupa dengan acara itu. Tapi kalaupun aku mau akan dititipkan dimana putraku?

Cklek..

Suara pintu kamar mandi terbuka, Rahmat keluar dari sana dengan bagian pinggangnya yang tertutup handuk. Kemudian dengan cepat ku letakkan kembali ponselku keatas meja kecil disamping ranjang.

"Kamu nggak ke kamar mandi?" Tanya Rahmat sambil berjalan kearah ranjang.

"Emm.. belum mau." Jawabku sedikit menggoda. Ia tersenyum dan kembali naik keatas ranjang. Bibirnya langsung melumat bibirku dengan cepat, aku sungguh tak bisa menghindarinya.

"Buruan mandi sana, jangan buat aku melakukannya lagi." Bisik Rahmat didekat telinga dan membuatku geli.

Karena takut dengan ancamannya tadi, aku bergegas turun dari ranjang lalu mengambil baju handukku yang tergantung di dekat kepala ranjang dan membungkus tubuh kecilku dengannya.

"Oh iya, aku lupa bilang."

"Mau bilang apa, mas?" Tanyaku sambil berjalan perlahan kearah kamar mandi.

"Besok ada acara di kantor, jadi aku pulang agak malam. Gapapa kan?"

Jadi besok Rahmat akan pulang telat. Kenapa aku tidak menggunakan waktu itu saja untuk bertemu Erik?

"Gapapa sih, Mas. Tapi.."

"Tapi apa?" Tanya Rahmat penasaran.

"Kamu kan tau aku suka takut kalo sendirian nungguin kamu di rumah." Jawabku, ia terlihat memikirkan sesuatu.

"Yaudah deh, kalo gitu Mas usahain pulang lebih cepet."

"Bukan gitu, Mas. Kamu gapapa pulang telat juga. Tapi kayaknya besok aku kerumah Ibumu aja, gimana?"

Dengan begini mungkin ia akan mengizinkanku. Toh kami sudah jarang sekali mengunjungi Ibu.

"Iya ya, kita udah jarang kesana. Oke deh kalo gitu. Mau Mas antar?"

"Nggak usah, Mas. Biar aku sendiri aja, lagian deket kan dari sini." Jawabku, ia mengangguk pelan seolah menyetujui. Dengan begini aku bisa menemui Erik walau untuk sebentar saja dengan perasaan tenang karena Ziyad bisa kutitip disana.

****

Aku masih berdiri di sebuah halte kecil samping jalan besar, menurut yang di katakan Erik kalau ia akan menjemputku disini.

BRUMM!!

Dari arah kana kulihat ada sebuah mobil sedan yang cukup bagus bersandar kesisi jalan dan berhenti dihadapanku. Kaca mobil itu terbuka dan aku mulai menundukkan kepalaku.

"Yaya? Itu kamu?" Panggil seorang Pria dari kursi kemudi, dari cara panggilnya pasti orang ini adalah Riri, maksudku, Erik.

"Hai." Balasku, kemudian ia menyuruhku naik mobilnya.

"Astaga, kau keliatan beda banget, Lidya." Ungkapnya ketika aku melangkah masuk kedalam mobil.

"Berbeda gimana maksudmu?"

"Kamu.. Kamu makin cantik."

"Udahlah, aku nggak suka digoda." Ungkapku, ia tertawa melihatku kesal.

"Yaya?" Panggil ia lagi sambil sesekali melirik kearahku.

"Apa?"

"Terimakasih ya. Aku kira kamu nggak akan mau ikut." Ujar Erik.

"Ya gimana pun juga kita udah lama banget nggak ketemu, ini semua kulakukan juga sebagai permohonan maaf sama kamu."

"Maaf? Untuk apa?" Tanya Erik heran. Kupikir ia masih ingat ketika aku mengakhiri hubungan kita beberapa tahun lalu dengan kejam.

"Maaf untuk semuanya yang pernah aku perbuat ke kamu. Aku masih ngerasa bersalah banget, Ri."

Ia tertawa renyah mendengar ungkapanku.

"Ooh.. itu ya. Aku malah udah lupa." Ujarnya.

"Ya udahlah.. yang lalu biar aja berlalu. Lagian, sekarang kita udah dijalan yang berbeda. Iya kan?" Lanjutnya sambil memandangiku dalam-dalam.

Aku tak menyangka dia akan memaafkan aku begitu saja setelah ku lakukan sesuatu yang buruk padanya.

"Tapi, Yaya?"

"Ya, kenapa?"

"Yang aku katakan waktu itu, aku bersungguh-sungguh lho." Ungkapnya.

"Kalau sampai suami kamu ngelakuin sesuatu yang buruk, entah itu ke kamu atau ke Ziyad, jangan sungkan, segera bilang sama aku." Lanjutnya.

Aku paham, ia khawatir dengan Rahmat yang usianya jauh lebih tua dariku yang mungkin bisa saja melakukan sesuatu yang buruk. Tapi, untuk saat ini tidak ada alasanku untuk membenci Suamiku. Meski begitu aku tetap menghargai niat baik Erik padaku dan Ziyad.

"Iya, aku mengerti. Tenang aja, aku pasti kasih tau kamu." Balasku.

Setelah beberapa menit kami berada dijalan, akhirnya kami sampai di tempat yang Erik maksud, yaitu di sebuah Pabrik yang cukup besar.

Di gerbang tadi ada banyak sekali rangkaian bunga yang isinya mengucapkan selamat untuk Erik. Sebenarnya apa yang ia kerjakan hingga mendapatkan perhatian sebanyak itu? Dia sungguh bukan lah Erik yang kukenal dulu, dia sudah berubah drastis sekarang.

Setelah parkir, kami pun turun dan ia mengajakku menuju tempat acara itu dilangsungkan.

"Ri, sebenarnya ini acara apa?" Tanyaku penasaran.

"Dulu perusahaan pemilik pabrik ini adalah perusahaan besar, tapi setelah pemiliknya hampir bangkrut, ia pun menjualnya padaku." Jawabnya, aku cukup terkesan.

"Jadi, maksud kamu..."

"Ya, kini akulah yang memegang kendali perusahaan ini. Makanya aku mau kamu hadir untuk ikut merayakan ini semua." Ungkapnya, kurasa itu terlalu berlebihan. Tapi begitulah Erik.

Selang beberapa saat, tiba lah kami di aula tempat acara tersebut berlangsung. Para tamu undangan sudah ramai menunggu kedatangannya dan menyalami Erik ketika ia masuk kedalam.

Sejujurnya aku kurang menyukai keramaian seperti ini, rasanya menyesakkan.

"Permisi.."

Ada seorang Pria yang tiba-tiba menyapaku. Ia melihat ku lekat, seolah kami pernah bertemu.

"Kayaknya kita pernah ketemu." Ungkapnya, benar dugaanku.

Hey, tunggu dulu. Pria ini..

Ya aku pernah melihat ia sebelumnya. Dia mirip dengan teman Rahmat yang pernah datang kerumah. Astaga, kenapa ia bisa ada disini.

"Oh.. maaf. Kayaknya saya salah orang. Mbak mirip sama istri temen saya." Katanya sebelum pergi meninggalkanku.

Ya Tuhan, ternyata benar orang tadi adalah rekan kerja Mas Rahmat.

Lalu ku lemparkan pandanganku ke segala sisi, ku tatap semua wajah para tamu di aula ini. Sampai akhirnya...

Mata kami bertemu.

"Astaga! Mas Rahmat!? Dia ada disini?" Gumamku setelah menyadari kalau suamiku juga hadir di acara ini.

Apa ia juga bekerja disini? Selama kami menikah Rahmat jarang menceritakan tentang pekerjaannya. Kalau tau begitu aku tidak menerima ajakan Erik.

Ku lihat Rahmat berjalan perlahan kearahku. Aduh, bagaimana ini? Aku harus bilang apa padanya.

Ya, aku harus sembunyi.

Greb!!

Disaat aku hendak pergi, Erik menahan tanganku.

"Yaya? Kamu mau kemana?"

"Aku.. aku mau ke toilet sebentar." Jawabku.

"Oh, oke. Jangan pergi jauh-jauh ya." Katanya, kemudian aku pergi dari sana dengan langkah cepat.

Bruk!

Setelah menemukan toilet aku segera masuk dan kututup pintu rapat-rapat. Tangisku memecah seisi ruangan, aku takut sekali. Tak terbayangkan bagaimana jika Rahmat tau kalau aku diam-diam pergi bersama pria lain.

Triing....
Triiiing...

Ponselku berdering cukup kencang, aku pun segera mengeluarkannya dari tas.

"Mas Rahmat?" Gumamku kaget setelah tau kalau orang yang menelponku adalah Rahmat.

Aku segera mengatur kembali deru nafas yang tadi sempat berantakan karena menangis.

"Oke, baiklah..." Ucapku mencoba menenangkan diri.

Klik!

[Me : Ha..Hallo, Mas?]

[Rahmat : Hallo, Dek. Kamu dimana sekarang?]

Sudah ku tebak, Rahmat pasti akan melempar pertanyaan tersebut padaku.

[Me : aku..aku masih di rumah Ibu, kok. Ada apa, Mas? Mau bicara sama Ibu?]

[Rahmat : Alhamdulillah, Syukurlah...] Jawabnya, aku pun ikut merasa lega. Karena kalau sampai ia bilang mau bicara dengan Ibunya, matilah aku.

[Rahmat : Dek, maafin Mas ya.] Lanjutnya lagi.

[Me : kok minta maaf?] Tanyaku heran.

[Rahmat : enggak, Mas cuma mau minta maaf aja. Mas hampir salah paham tadi. Udah jangan dipikirin. Kalo gitu udah dulu ya, maaf kalo Mas ganggu. Assalamualaikum.]

[Me : waalaikum salam.]

Klik.

Pembicaraan itu selesai begitu saja tanpa ia menaruh rasa curiga padaku. Rahmat, manusia macam apa kamu itu?

[Me : Ri, maaf aku nunggu di luar aja ya, aku nggak nyaman di tempat seramai itu. Maaf.]

Klik.

Ku kirim pesan singkat tersebut pada Erik. Sebenarnya, aku hanya ingin sembunyi dari Rahmat.

Tubuhku masih menggigil ketakutan, masih tak bisa dibayangkan bagaimana jika Rahmat bukan orang yang seperti kukenal sekarang.

Tubuhku tersandar ke dinding kamar mandi berukuran 2x2 meter ini. Kepalaku tertunduk lesu dan bingung harus bagaimana aku menyikapi ini semua.

"Mas Rahmat. Maafkan aku.." Hati kecilku terus berteriak demikian.

****

Erik menghentikan mobilnya di tempat ia menjemputku tadi.

"Maaf ya, aku nggak tau kalo kamu nggak suka tempat ramai kaya tadi." Ungkapnya.

"Gapapa, Ri. Jangan dipikirin."

"Yaudah, aku turun ya. Makasih untuk tumpangannya." Lanjutku kemudian turun dari mobilnya.

Ia tersenyum kearahku.

"Semoga kita bisa jalan-jalan lagi nanti. Kita lanjut di WhatsApp ya."

"Iya, hati-hati ya, Ri." Balasku sambil melambaikan tangan, lalu ia pergi dengan mobilnya.

Hari ini cukup berat bagiku, dan katanya dia mengajakku lagi nanti? Entahlah, untuk kali ini saja rasanya tak nyaman. Walaupun hari ini cukup menegangkan, tapi rasanya senang bisa satu mobil dengannya.

Aku pun berjalan kerumah Ibu dengan perasaan yang bercampur dalam dada, tapi yang paling kentara adalah perasaan senang. Wajah Riri masih memenuhi seisi kepalaku.

Dia tampak berbeda kalau tidak memakai kacamata seperti dulu. Semoga aku tak menyukainya lebih jauh lagi.

**********

#Erik

Ia menjalankan mobilnya dengan kekuatan penuh. Matanya terlihat memerah tajam kedepan, nafasnya menderu tak beraturan, genggaman tangannya erat melilit stang mobil.

Ada bisikan yang keluar dari mulutnya dengan cepat. Piluhnya keluar deras hingga membasahi Tuxedo nya.

"Aaaaaarrrgggh!!!!" Teriak Erik seraya memukuli setir mobil.

Nafasnya makin tak teratur, ia hampir tak bisa mengontrol dirinya.

"Kali ini kamu bisa lolos dariku, Yaya Sayang. Selanjutnya, akan ku buat kamu bersenang-senang bersamaku." Bisiknya sambil tersenyum tajam.

Suara deru mesin mobilnya yang melaju kencang menambah kengerian dalam kabin mobil. Ia terus tertawa dengan nada berantakan.

"Kamu harus membayar semuanya! Yaya Sayang."

Bersambung... Part 5

JADIKAN AKU JANDA [PART 4] Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Sukabaca

0 $type={blogger}:

Post a Comment

Berikan komentar anda dengan bijak tanpa mengandung unsur SARA