#Rahmat
Waktu pulang terasa lebih cepat, mungkin sebagian anak buahku senang dengan hal itu, tapi tidak denganku.
Beberapa bulan terakhir produksi perusahaan tempatku bekerja sedang menurun, dampaknya adalah waktu kerja kami jadi tak teratur. Saking banyaknya waktu yang terbuang sampai akhirnya kami di pulangkan lebih cepat.
Sebagai seorang leader bagian produksi, aku biasa terkena imbasnya. Walau begitu aku tak pernah menceritakan hal ini pada bawahanku, kerja mereka sudah melelahkan, kalau mendengar kabar tidak enak ini pasti akan membuat mereka makin capek.
Di saat aku sedang berjalan menuju parkiran, ku lihat Pak Romi, atasanku, atau bisa dibilang pendiri Perusahaan tempat ku bekerja, yang juga berjalan searah. Karena sedikit penasaran dengan keadaan kantor, aku berjalan lebih cepat untuk menemuinya.
"Assalamualaikum.." sapa ku dengan salam, kemudian beliau menoleh kearahku.
"Eh.. waalaikum salam. Rahmat, mau pulang juga?" Balasnya dan langsung menepuk pundakku dengan akrab.
"Iya, Pak. Kebetulan saya juga parkir dekat sini."
"Sepertinya kamu mau menanyakan sesuatu ya sama saya?"
Aku terdiam sebentar, mencoba mencari bahasa yang pas untuk menanyakan tentang masalah tersebut. Karena jika salah sedikit saja mungkin Romi akan merasa terbebani karena bawahannya sepertiku sudah mulai khawatir dengan keadaan kantor.
"Iya Pak, sebenarnya saya penasaran kenapa akhir-akhir ini kantor terlalu baik karena sudah meringankan waktu kerja karyawan? Apa karena kami bekerja terlalu keras atau bagaimana? Kalau iya, biar saya bilang pada bawahan saya di bagian produksi." Ungkapku sedikit gugup, ia terlihat tertawa renyah.
"Yah.. jadi begini, Mat. Sebenarnya penyebab waktu kerja di persempit adalah karena pemesanan produk kita sedang menurun, kau mengerti kan? Biar para karyawan juga nggak buang-buang waktu karena dipabrik juga produksi barangnya sedang sedikit, terus...."
Romi terus menjelaskan padaku dengan jelas dan hati-hati, hingga aku makin mengerti kenapa para karyawan di izinkan untuk pulang lebih cepat.
"Apa nggak ada solusi lain pak? Seperti misalnya kita buat inovasi terbaru mungkin?" Tanyaku.
"Kamu tau, kan? Membuat hal semacam itu akan memakan biaya besar. Sedangkan kini perusahaan lagi kritis keuangannya dan nggak mungkin lagi berhutang." Jawabnya, ia menghela nafas dalam-dalam.
"Maaf, saya harus bilang bahwa sepertinya tempat ini sedang di ambang kebangkrutan, Mat. Cuma itu yang bisa saya ungkapkan ke kamu." Lanjutnya seraya kembali menepuk pundakku.
Aku tak bisa berkata-kata lagi, memang inilah kenyataannya. Sebagai seorang karyawan aku tak bisa berbuat banyak untuk perusahaan ini. Andai aku bisa membantu lebih, Pak.
"Yaudah, kalo begitu kita berpisah disini ya, semoga hari besok dan seterusnya ada kabar baik untuk kita dan karyawan lain."
"Baik pak, hati-hati dijalan."
Kami pun berpisah di area parkir, dan aku masih berdiri melihatnya pergi menemui para ajudannya.
"Sebaiknya aku harus cari alternatif lain untuk kedepannya." Gumamku dan kembali bergegas menuju mobil.
Sesampainya aku dirumah, Lidya tak terlihat menyambutku seperti biasanya.
"Assalamualaikum.. dek?" Panggilku, tapi tak ada jawaban.
Karena sedikit khawatir, aku berjalan cepat masuk kedalam rumah. Di ruang tamu tak ada siapa-siapa, kemudian ku lanjutkan mencarinya ke kamar.
Aku pun sedikit lega ketika melihatnya ternyata sedang terlelap di kamar putra kecil kami, Ziyad. Aku pun mendekati Lidya untuk mengajak nya makan.
Tringg..
Belum sempat aku membangunkan istriku, ponsel yang ada di sampingnya berbunyi. Kulihat di layarnya ada pemberitahuan 1 pesan masuk dari kontak bernama Riri. Apa mungkin itu salahsatu temannya saat SMA? Karena akhir-akhir ini ia sedang sibuk berbalas pesan dengan teman-teman lamanya.
"Dek, ayo bangun."
"Lidya?"
Setelah kugerakkan sedikit pundaknya, ia berhasil bangun.
"Eh, Mas? Kok tumben cepet pulangnya?" Tanya Lidya yang masih berusaha bangun.
Mendengar pertanyaan tersebut, aku bingung harus menjawab apa. Tapi sepertinya aku harus merahasiakan masalah kantorku dulu untuk kali ini.
"Iya, aku yang minta sama pak Bos." Jawabku seadanya.
"Minta pulang? Kamu sakit, Mas?" Lidya bangun dan segera meraba dahiku.
Dengan cepat aku menggenggam tangannya tersebut dan menariknya hingga tubuhnya menempel padaku.
"Enggak, cuma kangen aja sama istriku yang cantik ini."
Kemudian dengan cepat kulumat bibir merahnya dan kurasa ia sedikit menikmatinya, sampai akhirnya Lidya berhasil mendorongku mundur.
"Kebiasaan ih, bikin kaget aja." Keluhnya dengan wajahnya yang merah merona. Aku hanya tersenyum lebar melihatnya tersipu malu.
"Nih." Kusodorkan sekantung plastik berisi beberapa lauk.
"Ini apa?"
"Lauk dari warung nasi Padang." Jawabku, ia pun mengambilnya dengan wajah heran.
"Tumben kamu beli lauk ini, Mas?"
"Lagi pengen aja, lagian kita itu harus sedikit berhemat, Dek. Ziyad sebentar lagi udah harus sekolah." Jawabku sedikit meledeknya, ia memukul punggungku pelan.
"Apaan sih, Mas? Baru juga naik setahun umurnya." Kami tertawa bersamaan.
****
Setelah makan malam, kami berdua bersantai di ruang keluarga sambil menonton TV. Tidak, bukan kami, mungkin hanya aku yang menonton TV, sedangkan Lidya masih sibuk dengan ponselnya. Apa mungkin perempuan seumurnya memang selalu sibuk dengan Gadget ya? Atau hanya dia saja?
"Dek?" Tanyaku, ia hanya menoleh sebentar kemudian balik lagi melihat layar ponselnya.
"Apa?"
"Riri itu temanmu juga ya?" Tanyaku soal nama yang tadi muncul di layar ponselnya tadi sore.
Setelah ku tanyakan soal nama tersebut, ia terlihat kikuk dan gugup. Dasar aneh.
"Eh? Emm... Iya, iya dia temanku saat SMA. Kok kamu tau nama dia? Dari mana?"
"Aku tadi liat HPmu sedikit pas mau bangunin kamu, ada namanya disana." Jawabku. Ia masih terlihat salah tingkah setelah kami membahas nama tersebut.
"Kamu tenang aja, Sayang.. Mas nggak marah kok kalo emang kamu mau ngobrol sama temen-temenmu, cuman ya jangan keseringan dong, sampe cuekin suami kamu ini."
"I..Iya, Mas. Maaf ya."
Melihatnya merasa bersalah sungguh terlihat menggemaskan. Malah aku yang jadi merasa berdosa karena membahas tentang temannya tadi. Aku sedikit bergeser ke dekatnya dan memeluk tubuhnya bulat-bulat.
Aku sedikit lega ketika ia memiliki sesuatu yang membuatnya senang, seperti teman-teman lamanya misalnya. Aku tak mau membuatnya sedih dengan kabar tak menyenangkan yang datang dari kantor tempatku bekerja. Setelah semuanya membaik, aku akan memberitahu nya.
****
"Rahmat, kita disuruh kumpul di ruangan Pak Romi." Ujar temanku sesama leader.
Tak biasanya rapat tanpa ada pemberitahuan seperti ini, apa sebenarnya yang ingin beliau infokan pada kami. Walaupun beberapa hari lalu aku mendengar kabar burung kalau tempat ini akan diambil alih perusahaan raksasa. Walaupun itu hanya sebuah rumor, tetap saja menghawatirkan.
Sesampainya di ruangan tersebut, orang-orang yang berasal dari berbagai Divisi di perusahaan ini sudah mulai memenuhi bangku-bangku, Pak Romi juga sudah hadir disini. Wajah mereka terlihat tegang, aku benci situasi ini.
"Selamat pagi semuanya." Romi menyapa kami dengan wajah yang penuh dengan peluh.
"Mohon maaf bila kalian dikumpulkan disini secara mendadak tanpa ada berita apa-apa dari saya sebelumnya." Ungkapnya mengawali.
"Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan pada kalian." Lanjutnya, kemudian situasi mendadak hening.
"Seperti yang kalian tahu, perusahaan kita sedang mengalami masa kritis, terutama di bagian poduksi,"
Ia bangun dari kursinya dan berdiri tegap di tempatnya.
"Kayaknya saya nggak perlu basa-basi lagi." Lanjutnya, kini ia terlihat tertunduk lesu sejenak, kemudian kembali melihat kearah kami.
"Minggu ini adalah Minggu terakhir saya disini, karena perusahaan ini akan diambil alih."
Deg!!
Benarlah dugaanku, lalu bagaimana dengan nasib para pekerja disini? Semua orang di ruangan mulai menanyakan hal tersebut pada pemimpin perusahaan.
"Maksudnya gimana, Pak? Mau di ambil alih sama siapa? Terus gimana sama nasib kita?" Tanya seorang karyawan dari divisi berbeda.
"Kalian nggak usah cemas, kalian tetap bekerja disini. Cuman tempat ini bukan milik saya lagi karena akan di ganti alihkan." Jawab Romi membuat kami sedikit lebih lega.
"Tapi siapa orang yang menggantikan bapak?" Tanya salah seorang lagi dari kami.
Kemudian ada sekitar 3 orang asing masuk kedalam ruangan. Sepertinya 2 orang itu adalah bodyguard karena terlihat dari badannya yang besar-besar, dan Pria muda tersebut? Tidak mungkin.
"Selamat pagi semuanya," Ucap Pria bertuxedo abu-abu itu mengawali pembicaraan. Ia terlihat cukup muda untuk bicara didepan, tapi siapa orang itu?
"Semuanya perkenalkan, namanya Pak Erik, dia adalah putra dari pemilik perusahaan furniture raksasa di Indonesia, yang juga selama ini telah membantu meminjamkan dana untuk perusahaan kita," Ujar Romi memperkenalkan Pria muda tersebut.
"Mulai pekan depan saya akan mengambil alih perusahaan ini. Jadi, mohon bantuannya." Ungkapnya cukup berwibawa, seisi ruangan termasuk aku hanya bisa terdiam.
Dia, Pria muda bernama Erik itu, akan memimpin perusahaan ini sendirian?
**********
#Lidya
"Fyuh.. hampir aja." Gumamku sedikit merasa lega karena Rahmat tidak curiga dengan pesan dari Erik yang hampir ia buka kemarin sore saat pulang kerja, dan menganggap kalau Riri itu adalah teman perempuanku.
Sepertinya aku harus lebih berhati-hati dan selalu menghapus pesan lama, agar Rahmat tak begitu curiga.
Tapi, apa yang kulakukan ini salah ya? Rasanya tak nyaman kalau terus-menerus begini, padahal aku cuma ingin berbincang-bincang dengan Erik yang baru saja ku temukan kembali setelah sekian lama.
Selama hanya mengobrol lewat pesan singkat mungkin tidak mengapa, orang seperti suamiku pasti mengerti.
Tring..
[Erik : Yaya, senin depan kamu sibuk nggak?]
Tiba-tiba Erik mengirim pesan dengan pertanyaan seperti itu. Apa mungkin ia mau bertemu denganku?
[Me : enggak sih, kenapa?]
[Erik : Senin depan aku ada acara penting, tapi aku mau kamu ikut juga.]
Benar dugaanku, Erik mau mengajakku kesebuah acara. Tapi acara apa?
[Me : acara apa?]
[Erik : cuma peresmian kecil-kecilan, aku harap kamu bisa datang, aku mau ketemu sama kamu.]
Duh bagaimana ini? Bagaimana dengan Ziyad dan Mas Rahmat kalau aku pergi? Lagipula suamiku pasti nggak semudah itu memberi izin.
Bersambung... Part 4
Link part 2
Link part 1
JADIKAN AKU JANDA [PART 3]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 $type={blogger}:
Post a Comment
Berikan komentar anda dengan bijak tanpa mengandung unsur SARA