#Lidya
[Erik : Aku seneng denger kabar kamu baik-baik aja, pokoknya kalo dia sampai jahat sama kalian aku siap menghidupi kamu dan Ziyad disini.]
Begitulah kira-kira penutup percakapan kami ketika Chatting-an pagi tadi, dan bodohnya aku yang malah selintas memikirkan apa Rahmat pernah berbuat sesuatu yang buruk padaku. Tapi sayangnya ia terlalu baik selama kami menikah.
Jujur, aku masih mencintai Pria itu sampai sekarang, dan seperti apa yang ia katakan barusan mungkin Erik juga merasakan hal yang sama denganku. Tapi membayangkan kami bisa kembali bersama saja itu adalah hal yang mustahil. Aku sudah menikah dan memiliki anak, ya walaupun Erik sepertinya masih memilih untuk sendiri, dan menunggu status Jandaku. Mungkin.
"Aaahhh!! Lagian kenapa Erik bisa tau akun sosmed aku sih." Gumamku gemas sendiri.
Padahal setelah menikah aku sudah menghapus semua akun lama dan membuat yang baru. Kulakukan itu agar setidaknya aku bisa melupakan semua masalalu ku dengannya dan mencoba menerima Rahmat yang mendapatkanku lebih dulu.
Semuanya hampir berhasil, setidaknya aku bisa menerima Rahmat sepenuhnya dihidupku. Sampai akhirnya Erik mengirim pesan pagi tadi, rasanya semua berubah dari aku mencoba mencintai Rahmat menjadi tak mencintainya sama sekali.
Sebegitu besarnya dampak yang diberikan kata "Hai" dari Erik.
Aku bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar tidurku dan Rahmat. Disana terpampang cukup besar foto pernikahan kami.
Tampang Rahmat yang lumayan tampan dan dewasa tak begitu buruk di usianya yang tak remaja lagi. Kulitnya bersih putih yang menular pada Ziyad, walaupun kulitku lebih ke kecoklatan ala perempuan Jawa. Juga untuk urusan ranjang pun Rahmat cukup gagah dan selalu membuatku puas.
Sebenarnya dari segi kualitas dan kuantitas, Rahmat hampir mendekati sempurna. Yang paling terpenting adalah, dia cukup mapan, itu sudah cukup bagiku.
"Jadi, kenapa harus milih Erik yang aku pun nggak tau dia kerja apa sekarang?" Ungkap ku mencoba menolak perasaan yang muncul tadi.
Bugg!!
Bugg!!
Kupukuli dadaku berkali-kali, tak terasa air mata mulai berlinang membasahi pipi. Tubuhku terduduk menghadap foto raksasa tersebut, sambil menahan malu dalam dada.
"Erik.. kumohon pergilah dari hatiku!" Gumamku ditengah serak tangis.
Memang, perasaan tak bisa dibohongi. Pria itu masih memenuhi relung hatiku, mungkin itu sebabnya orang sebaik Rahmat sampai sulit masuk kedalamnya.
****
Malam harinya, aku dan Rahmat tengah menikmati Ayam bakar yang ia belikan tadi sepulang kerja. Padahal ini adalah Ayam bakar favorit kami, tapi ketika daging dengan baluran kecapnya melewati lidahku, rasanya seperti hambar.
Rahmat menyadari kegundahanku, ia memandangiku dalam-dalam dan mencoba memahami apa yang sedang kupikirkan.
"Dek?" Panggilnya, aku masih tak menjawab. Sampai akhirnya tangan kekarnya meraih tanganku, dan akupun menoleh kearahnya.
"Ada masalah?" Tanya Rahmat.
"Enggak, Mas."
"Tapi kok tumben kamu makannya nggak semangat gini?" Tanya ia lagi.
"Cuma capek aja." Jawabku seadanya. Ia tersenyum dan mengelus lembut tanganku.
Tring..
Suara notiv berbunyi, Rahmat segera meraih ponselnya. Tapi wajahnya malah terlihat bingung, aku penasaran.
"Kenapa, Mas?"
"Bukan HP ku yang bunyi tadi." Jawabnya, lalu pandangan kami serentak terlempar ke ponselku.
Dengan sigap, aku mengambil ponselku. Tapi itu terlalu cepat dan membuat Rahmat heran.
"Dari HP kamu?"
"I..Iya, Mas." Jawabku gugup. Untungnya ia terlihat biasa saja dan melanjutkan makannya.
[Erik : selamat malam, Lidya.]
Pesan tersebut ternyata dari Erik. Karena kaget, aku pun tersedak dan batuk berkali-kali. Melihat keadaanku yang kepayahan, dengan cepat Rahmat menyodorkan segelas air padaku.
"Pelan-pelan dong makannya."
Disaat aku sedang minum, Rahmat memandangi ponselku dan kemudian tangannya mulai mencoba meraihnya. Aku segera mengambil ponsel tersebut lebih cepat darinya.
"Dari siapa?" Tanya Rahmat penasaran.
"Dari teman SMA, kamu nggak boleh baca, ini obrolan gadis tau." Jawabku mencoba meyakinkannya. Ia tertawa kecil sambil melanjutkan makannya seolah tak curiga.
Aku berdiri dari meja makan, Rahmat melempar pandangan kearahku.
"Mau kemana?"
"Aku udah kenyang. Kalo Mas udah selesai tinggalin aja, nanti aku yang beresin." Jawabku dan kemudian melangkah pergi dari dapur.
Langkahku masuk kedalam kamar dan kulempar tubuhku keatas ranjang. Ada rasa senang dalam hati ketika Erik kembali mengirim pesan padaku. Aku segera mengeluarkan ponsel dari kantung piama dan membalas pesannya tadi.
[Me : malam juga.] Jawabku.
Tak lama kemudian, ia kembali membalas percakapannya.
[Erik : lama banget balesnya, abis ngapain?]
[Me : Rahasia Pasutri, haha.]
[Erik : tumben pake rahasia-rahasiaan, dulu kamu nggak pernah kaya gitu.] Balasnya dengan sisipan emoticon sedih.
[Me : bercanda, aku abis makan malem bareng suami.]
[Erik : enak ya, aku masih jomblo lho.]
[Me : kasian..] balasku mencoba meledeknya.
Padahal sudah hampir 3 tahun kami berpisah, tapi perasaan ini masih sama seperti dulu. Ku kira ia akan berubah drastis.
[Erik : Lidya?]
[Me : apa?]
[Erik : biar lebih akrab, aku boleh panggil kamu pake sebutan kaya dulu lagi?]
Aku terdiam sebentar, ada getaran hebat dalam jiwaku, sama seperti ketika kami pertama mulai berpacaran.
[Me : boleh kok.] Jawabku singkat.
[Erik : Yaya?] Panggilnya, kali ini ia memanggilku dengan sebutan itu. Aku tertawa renyah ketika membacanya.
[Me : Apa, Riri?]
Yaya dan Riri, adalah nama panggilan kami saat masih berpacaran dulu. Kalau ku gunakan panggilan tersebut sekarang rasanya sangat memalukan.
"Sayang?"
Deg!
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh Rahmat yang sudah ada di pintu kamar. Dengan cepat ku matikan ponselku tanpa melihat pesan terakhir yang belum sempat ku buka.
"Eh, Mas. Kamu udah selesai makannya?" Tanyaku sedikit gugup.
"Udah, piringnya juga udah Aku beresin. Keliatannya kamu sibuk banget sama temen lama, pasti kangen banget ya?" Ujarnya.
"Ya gitu deh, namanya juga udah lama nggak ketemu." Jawabku sambil merangkak turun dari ranjang.
Aku berjalan keluar kamar, tapi Rahmat masih berdiri di ambang pintu dan membuatku tak bisa keluar.
"Awas dong, Mas!"
"Mau kemana?" Tanya Rahmat pelan.
"Aku mah tengok Ziyad sebentar, takut dia rewel."
"Udah Mas lihat tadi, dia udah tidur pulas." Ucapnya yakin, aku merasa lega dan berjalan kembali keranjang. Gara-gara chatting-an dengan Erik aku jadi lupa tugasku sebagai Ibu.
Greb!!
Rahmat memelukku dari belakang. Aku sempat dibuat terkejut oleh perbuatannya yang tiba-tiba.
"Kenapa Mas? Kaget aku."
"Udah selesai kan?" Tanya Rahmat berbisik.
Aku mengerti, mungkin yang ia maksud adalah masa datang bulanku.
"Udah belom ya.." balasku meledeknya. Tapi Rahmat malah mengangkat tubuh kecilku dan menggendongnya sampai ke ranjang.
Bruk!!
Ia melempar tubuhku tepat diatas ranjang dan ia membuat posisi yang membuatku terhimpit tak berdaya. Aku sungguh tak bisa berbuat banyak, apalagi ketika ia menyerangku dengan cumbuan bibir dan deru nafas birahinya.
Malam itu, kami tenggelam dalam asmara. Semua berjalan sebagaimana semestinya, hanya saja aku merasa bersalah karena malah membayangkan kalau Pria yang melakukannya adalah Erik, bukan Rahmat.
Bersambung... Part 3
Klik disini untuk membaca Part 1 dari cerita ini.
JADIKAN AKU JANDA [PART 2]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 $type={blogger}:
Post a Comment
Berikan komentar anda dengan bijak tanpa mengandung unsur SARA