SEPERTI APAPUN, DIA TETAP IBUKU


Disuatu desa hiduplah seorang remaja bernama Zaid, zaid adalah pemuda yang rajin, tekun beribadah, ia juga merupakan seorang santri disalah satu pondok pesantren yang ada di sebelah desanya.

Sejak usia 8 tahun ia dititipkan di pesantren oleh ibunya, meskipun ibunya adalah seorang PSK, namun ia tak ingin anaknya menjadi orang yang buta agama. Ia ingin agar anaknya menjadi anak yang sholeh.


Zaid pun mengikuti permintaan ibunya, ia sangat menghormati sang ibu, dia sangat menyayangi ibunya hingga tak ingin menyakiti hati ibunya sedikitpun. Sampai-sampai ketika bersalaman kepada orang-orang alim pun ia enggan untuk mencium tangan mereka.

Baginya, tangan orang yang pantas untuk ia cium hanyalah tangan ibunya.

Waktu demi waktu ia jalani di pesantren, sungguh sangat berat perjuangan Zaid, ia selalu diejek oleh teman-temannya sebagai anak pelacur. Meskipun ia diejek habis-habisan dan seringkali dijahili oleh teman-temannya ia tak pernah sekalipun mengatakan hal tersebut kepada ibunya. Ia tak ingin ibunya merasa sedih, ia tak ingin menyakiti perasaan ibunya.

Tahun demi tahun pun berlalu, Zaid kecil kini telah tumbuh dewasa, ia sangat disayang oleh keluarga ndalem karena dia merupakan anak yang rajin, sopan, dan sangat cerdas.

Tak terasa dirinya telah menyelesaikan program pembelajaran yang ada di pesantren tersebut. Ia pun berpamitan kepada abah yai untuk boyong. Sebelum memberikan izin, abah yai memastikan kepada Zaid " Kamu beneran mau pulang Zaid?, nggk mau menemani abah disini? ".

Dalam lubuk hati Zaid sangat ingin menemani abah yai, ia sudah menganggap beliau sebagai ayahnya sendiri, karena memang sudah dari kecil Zaid tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah, jangankan kasih sayangnya, siapa ayahnya pun ia tak tau.

Namun disisi lain, ia juga ingin menemani ibunya yang sudah lama ia tinggalkan. Hingga ia dengan terpaksa harus menolak tawaran abah yai.

" mboten bah, kulo bade ngamalke ilmu kulo ten griyo " jawab Zaid.

" yowes, tapi ojo lali abah, umi karo sedulurmu nangkene sering-sering ditiliki yo le? "

" nggeh bah insya Allah kulo bakal sering-sering soan mriki "

Setelah 17 tahun menimba ilmu di pesantren ia kembali pulang ke desanya, tak ada tempat lain yang ia tuju selain rumah ibunya tercinta.

Namun betapa kagetnya ketika ia melihat rumahnya kini telah menjadi lokalisasi. Ya, lokalisasi ialah tempat untuk bersenang-senang bagi para lelaki hidung belang. Dan yang menjadi pemilik lokalisasi tersebut ialah ibunya sendiri.

Dengan mengucapkan " Bismillah " ia melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah untuk bertemu dengan ibunya. Beberapa pasang mata memandang kearahnya dengan sinis.

" Assalamu'alaikum... bu.... ibu..."

" Wa'alaikumussalam.... Zaid... Gimana kabar kamu nak? "

" Alhamdulillah baik bu, ibu sendiri bagaimana? "

" Ibu baik-baik saja nak... ayo nak ibu tunjukan kamar kamu..."

" Iya bu...."

Sambil melangkah ke kamarnya, sesekali ia mendengar bisikan orang-orang disekitarnya "ibunya germo kok anaknya bisa alim seperti itu ya?", ia merasa sangat risih melihat kemaksiatan dimana-mana, ia berfikir, apakah ia akan bertahan hidup dirumah yang penuh dengan pendosa seperti itu.

"Ah sudahlah, akan aku coba dulu" gerutunya dalam hati.

Hari demi hari berganti, setiap kali waktu shollat tiba ia pergi ke masjid untuk melaksanakan shollat berjama'ah, hal itu ia lakukan setiap hari selama hampir satu bulan. Namun usaha ibunya semakin hari semakin menjadi-jadi. Karena rumahnya semakin ramai oleh PSK dan para lelaki hidung belang, ia memutuskan untuk menjadi ta'mir masjid disekitar rumahnya.

Ia tinggal di masjid dan mengurusi masjid setiap harinya, ia merasa lebih nyaman dan lebih tenang di masjid daripada dirumahnya. Warga sekitar masjid pun salut dengan Zaid, dia rajin beribadah, ilmu agamanya mumpuni dan selalu menjaga kebersihan masjid.

Hal itu berbanding terbalik dengan ibunya, yang selama hidupnya tak pernah sekalipun ia melangkahkan kaki untuk shollat berjama'ah di masjid. Meskipun sudah berkali-kali Zaid mengajak ibunya untuk shollat berjama'ah, namun tetap saja usaha Zaid sia-sia. Ibunya belum mau melakukan shollat berjama'ah dengan alasan malu kepada warga sekitar.

Hingga suatu hari, warga mulai geram dengan perbuatan ibunya Zaid ini, hingga warga memutuskan untuk memporak-porandakan rumah ibu Zaid yang difungsikan sebagai tempat lokalisasi tersebut.

Warga mulai ramai berbondong-bondong menuju lokasi, Zaid yang masih membaca Al-Qur'an di dalam masjid pun kaget mendengar suara ramai gemuruh warga yang berjalan menuju ke rumah ibunya, salah seorang warga memberitaunya tentang tujuan warga.

Sontak ia kaget dan berlari mengejar gerombolan warga yang akan mengusir dan merusak rumah ibunya tersebut. Ia menghadang dan menghentikan warga di depan rumahnya agar tidak menyakiti ibunya.

" Tolong jangan sakiti ibu saya pak, ibu saya nggak bersalah, saya yang salah tidak bisa menasehatinya, tolong pak kita bicarakan baik-baik."

" Hay Zaid, kamu kan pastinya lebih tau soal agama dan bagaimana seharusnya seorang pezina harus dihukum?, lalu mengapa kau melindungi ibu kamu yang jelas-jelas menyalahi agamamu?" kata salah seorang teman Zaid sesama pengurus masjid tempat Zaid tinggal.

" Meskipun ibuku salah, aku akan membelanya sampai kapanpun, hingga saya tak memiliki daya untuk membelanya lagi, seperti apapun dia, dia tetap ibuku."

" baiklah kalau begitu, ayo kita hancurkan tempat ini." seru salah seorang warga.

" Ayo.... " saut warga yang lainnya.

Zaid berusaha sekuat tenaga untuk menghalangi warga, "ibu.... lari bu, ayo bu... ibu lari cepat..."

Sambil menangis melihat anaknya yamg menerima pukulan demi pukulan demi melindungi dirinya, ia hanya berdiam diri dan tak mau beranjak dari tempat ia berdiri. hingga Zaid akhirnya tak sadarkan diri akibat dipukul menggunakan kayu di kepalanya oleh salah seorang warga.

" Zaiiiiiiiiiiiid......" teriak ibunya seraya mendekap anaknya yang tak sadarkan diri, melihat Zaid tergeletak bersimba darah dipangkuan ibunya, warga pun berhenti dengan seketika.

" Kenapa kamu lakukan hal ini nak? ibu pantas diperlakukan seperti ini, kamu tidak usah membela ibu "

Zaid menjawab perkataan ibunya dengan nada pelan " Agama ......yang ibu titipkan kepadaku ..............mengajariku...... untuk selalu menjagamu, dan ........berbhakti padamu... sekalipun aku..... melakukan ibadah tanpa beristirahat....... aku tak akan masuk surga..... tanpa ridhlomu i.......bu....."

"Zaiiiiiiiiid, bangun nak....jangan tinggalkan ibu nak..... Zaiiiiiid"

Zaid pun meninggalkan ibunya untuk selama-lamanya. Setelah kejadian tersebut, ibu Zaid pun menutup usaha haramnya itu. Ia mulai rajin melaksanakan shollat berjama'ah di masjid.

( SEKIAN )

SEPERTI APAPUN, DIA TETAP IBUKU Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Sukabaca

0 $type={blogger}:

Post a Comment

Berikan komentar anda dengan bijak tanpa mengandung unsur SARA