Baiklah, menindak lanjuti artikel-artikel kemarin yang membahas tentang Mengenal Dunia Filsafat, Filsafat dan Agama , serta Hubungan Filsafat Dengan Agama Islam. Pada hari ini saya posting kembali materi lanjutan yang berjudul "Harmonisasi Antara Filsafat dengan Agama di Kalangan Filsuf Muslim".
Sebelum membaca, siapkan kopi dan cemilannya. Yang mau sambil ngrokok nggak apa-apa yang penting jangan ganggu yang lain dengan asap rokokmu😂
Oke, untuk memersingkat waktu silahkan dinikmati dan selamat membaca 😊
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Ciri paling khusus dari filsafat Islam adalah bahwa secara keseluruhan ia merupakan usaha yang diarahkan Untuk mengkompromikan antara filsafat dan agama.
Para filsuf muslim hidup di lingkungan masyarakat Islam dan terpengaruh oleh suasana yang berkembang pada saat itu, sehingga mereka berusaha sekuat mungkin untuk mengkompromikan antara akidah mereka dengan kajian-kajian filsafatnya.
Hal ini dengan jelas dapat ditemukan pada Ibnu Sina dan al-Farabi. Namun usaha ini dikritik oleh Al-Ghazali seperti termuat dalam kitab Tahafut al-Falasifah dengan alasan bahwa para filsuf muslim tersebut telah melakukan kompromisasi antara akidah dengan filsafat dalam perspektif pemikiran filsuf-filsuf Yunani mengenai hal-hal yang bersifat metafisika (Ilahiyat).
Kemudian, muncul Ibnu Rusyd yang membela pandangan para filsuf dari serangan al-Ghazali ini.
Menurutnya, argumentasi-argumentasi serangan Al-Ghazali terhadap pemikiran para filsuf tersebut sangat kacau. Hal ini ia tuangkan dalam bukunya Tahafut al-Tahafut.
Para filsuf muslim banyak menganut pemikiran filosofis Yunani, khususnya pemikiran Aristoteles. Namun demikian, mereka menemukan banyak ketidakcocokan antara pemikiran tersebut dengan pokok-pokok akidah Islam, disamping juga mendapatkan beberapa segi ajaran agama Islam yang membutuhkan penjelasan secara filosofis.
Oleh karena itu, mereka berusaha keras untuk memberikan corak keagamaan pada filsafat Yunani sekaligus memberi “bungkus” filosofis dalam penjelasan tentang agama.
Berikut ini empat persoalan yang mencerminkan sebagian usaha mereka:
1. Ketuhanan
Dalam pemikiran filsafat Aristoteles konsep ketuhanan sangat kabur. Tak ada pembahasan khusus tentang konsep ini dalam filsafatnya. Konsep ketuhanan ini sedikitpun tidak mempunyai pengaruh dalam filsafat Aristoteles, baik dalam dasar-dasar etika maupun sistem politik.
Dalam pandangannya, Allah adalah Penggerak Pertama yang menggerakkan alam, akan tetapi Dia sendiri tidak bergerak (Unmoved Mover).
Aristoteles mendeskripsikan Allah sebagai Akal Murni yang mencurahkan pikiranNya terhadap DzatNya sendiri. Ia juga mendeskripsikan Allah dengan sifat Esa, ketika ia menjelaskan bahwa kesatuan sistem alam memastikan keesaan sebabnya.
Akan tetapi dalam hal ini Aristoteles tidak konsisten, karena seringkali ia membahas mengenai adanya penggerak khusus (yang tidak berbeda dengan penggerak pertama) di setiap sistem tata surya.
Sedangkan para filsuf muslim telah membentuk ide (konsep) ketuhanan yang sangat jelas dan sesuai dengan Akidah Islam.
Allah adalah “Wujud Pertama” (the first being) sekaligus “sebab mutlak” (prima causa) bagi wujud-wujud lain.
Allah tidak mempunyai sekutu, bandingan ataupun lawan. Dia adalah Tuhan Yang Maha Hidup, Mendengar, Melihat dan Mengetahui.
b. Penciptaan Alam
Aristoteles berbicara tentang qadimnya materi dan gerakan. Namun, ia sama sekali tidak menyisakan tempat bagi pengaruh (kekuasaan) Allah di alam ini.
Menurut Aristoteles, materi ada dengan sendirinya dan tidak butuh kepada entitas lain untuk mewujudkannya. Demikian pula gerakan. Ia bersifat azali dan tidak membutuhkan entitas yang lain pula.
Akan tetapi, para filsuf Islam berbeda pendapat dengan para filsuf Yunani mengenai sebab terjadinya alam.
Al-Farabi dan Ibnu Sina menegaskan bahwa alam adalah akibat dari sebuah sebab, sehingga eksistensi dan keberadaannya sangat bergantung kepada Allah S.W.T meski sebagian filsuf muslim banyak mengatakan tentang keazalian alam. Filsuf muslim yang menyatakan bahwa terjadinya alam bukan berasal dari “sesuatu” adalah al-Kindi.
c. Kekekalan Ruh
Kepercayaan terhadap kekekalan ruh merupakan bagian penting ajaran agama. Hal ini merupakan dasar dari tanggung jawab masa depan yang tanpanya, maka konsep balasan kebaikan dan kejahatan tak mungkin mempunyai makna.
Jika Aristoteles pernah mengatakan bahwa jiwa merupakan gambaran dari badan dan akan hancur ketika badan hancur, serta sekali waktu ia mengatakan bahwa akal aktif merupakan karakter ketuhanan yang bersifat azali abadi, maka Plato dalam berbagai buku dan dialog-dialognya menegaskan tentang kekekalan jiwa.
Para filsuf muslim mendukung pandangan-pandangan filsafat Yunani yang menegaskan tentang kekekalan ruh karena sejalan dengan ajaran Islam. Ibnu Sina, salah seorang filsuf muslim kenamaan membahas persoalan ini dengan sangat baik.
d. Teori Kenabian
Islam dan agama-agama samawi lainnya menerima dan mempercayai adanya wahyu. Orang yang mengingkari wahyu berarti telah menghancurkan sendi agama.
Oleh karena itu, para filsuf muslim berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran agama Islam dalam bingkai filsafat dan psikologi.
Dalam hal ini, mereka berpegang pada pendapat-pendapat Aristoteles tentang mimpi. Mereka kemudian membentuk teori baru tentang wahyu dan ilham yang dianggap sebagai usaha paling penting yang dilakukan oleh para filsuf muslim dalam mengharmonisasikan antara agama dan filsafat.
Intisari dari teori mereka adalah bahwa pengalaman membuktikan bahwa jiwa dapat mengetahui sesuatu yang misterius pada saat tidur dan tidak menutup kemungkinan untuk mengetahuinya pada saat terjaga.
Dari pengalaman, kita mengetahui adanya orang-orang yang bisa memberitakan apa yang akan terjadi pada masa depan dengan perantaraan mimpi.
Ketika jiwa-jiwa manusia dengan kekuatan imajinasinya mampu untuk naik dan sampai ke alam tertinggi dan tersimpan di lauh al mahfudz selama peristiwa-peristiwa masa lalu, masa kini dan masa depan, tentulah ia akan bisa mengetahui dan memberitakan sesuatu yang ghaib.
Kekuatan imajinasi inilah yang diberikan Allah kepada para Nabi Nya, yang menjadikan mereka mampu untuk berhubungan dengan alam tertinggi pada saat terjaga dan pada saat tertidur, sehingga pada akhirnya ia bisa mengetahui berbagai hakikat lewat wahyu dan mimpi yang benar.
Dengan demikian, maka wahyu merupakan terma emanasi Ilahi yang diterima oleh akal para nabi melalui daya imajinasinya.
Oke,demikianlah Harmonisasi Antara Filsafat Dengan Agama di Kalangan Filsuf Muslim, semoga artikel ini bermanfaat bagi sahabat/i dimanapun kalian berada.
Jangan lupa untuk like, share and komentar yang membangun ya😊
Budayakan untuk membaca sahabat/i😊
Sampai jumpa di postingan-postingan berikutnya 😊
SALAM PERGERAKAN!!!
0 $type={blogger}:
Post a Comment
Berikan komentar anda dengan bijak tanpa mengandung unsur SARA